Rabu, 12 Maret 2014

Mewujudkan Cita-Cita dengan Target yang Jelas




Tak hanya urusan kantor saja yang perlu ada target. Dalam kehidupan pribadi, kita boleh, kok, punya proyek sendiri, dengan target yang kita tentukan sendiri. Keuntungannya, tidak ada aturan baku untuk mengerjakan proyek pribadi ini. Hasilnya tidak harus di-post di blog atau diumumkan ke semua orang, tidak juga harus dilakukan sepanjang tahun. Namanya juga proyek pribadi, artinya kita sendiri yang mengukur kemampuan, serta cara dan waktu untuk mencapainya. Sebab, yang merasakan manfaatnya pada akhirnya juga kita sendiri.

Menurut psikolog Ratih Pramanik dari Personal Growth, melakukan proyek pribadi dengan target dan jangka waktu tertentu dapat menjadi cara yang efektif untuk mewujudkan resolusi atau mimpi-mimpi kita. Dengan adanya target yang jelas,orang akan lebih termotivasi dan punya strategi untuk mencapainya daripada sekadar mengejar sesuatu yang masih di angan-angan. 



Banyak orang yang menetapkan resolusi tanpa ada strategi ataupun ukuran yang jelas. Padahal, untuk bisa mencapai suatu tujuan, memang sudah seharusnya seseorang memiliki rencana atau rangkaian strategi menuju ke sana. Proyek pribadi bisa menjadi ukuran yang jelas apakah tujuan kita sudah tercapai atau belum. Kalau tekadnya membuat 100 rajutan, berapa banyak yang tercapai? Kalau niatnya  tiap hari menulis puisi, ada hari yang ‘bolong’ tidak? 
    
Mereka yang berani memulai self project ini, menurut Ratih, adalah mereka yang sedang memenuhi kebutuhan untuk aktualisasi diri. Berdasarkan teori psikologi Abraham Maslow, kebutuhan manusia bisa dilihat dengan piramida hierarki. Paling dasar adalah kebutuhan fisiologis (udara, air, makanan, tidur, seks, dan sebagainya). Di atasnya, urutan kedua, ada kebutuhan akan rasa aman (rumah, keluarga, pekerjaan, harta benda). Di urutan ketiga, ada kebutuhan cinta (pasangan, teman). Di atasnya ada esteem atau penghargaan diri (kepercayaan dan respek).

Di urutan paling atas dalam piramida hierarki ini adalah kebutuhan akan aktualisasi diri, yang mencakup kreativitas, spontanitas, pemecahan masalah, dan sebagainya. Orang-orang yang berani berkomitmen untuk melakukan proyek pribadi biasanya ingin membuktikan pada diri sendiri atau orang lain, untuk mencapai lebih dari sesuatu yang sudah ia miliki. Seperti yang terjadi pada Julie Powell, yang saat memulai proyek memasaknya sudah memiliki kehidupan yang mapan. 

Masalahnya, tidak semua orang begitu bertekad untuk melakukan perubahan dalam hidupnya, apalagi yang dirasa sudah nyaman. Untuk apa keluar dari comfort zone kalau tidak terpaksa? Menurut Ratih, ini adalah soal ambisi. Ia menjelaskan, manusia yang sehat secara fisik dan mental pada dasarnya selalu ingin maju dan berkembang. Ketika seseorang yang ambisius telah berada pada titik hidup yang stabil, ia tidak akan puas diri dan selalu ingin mencari tantangan baru, atau keluar dari zona nyamannya. Sedangkan mereka yang tidak terlalu ambisius, kemungkinan akan tenang-tenang saja di zona nyamannya. 

Sementara itu, kebutuhan manusia juga selalu naik turun dan mengalami perubahan. Ketika satu tujuannya sudah tercapai, ia tak akan lagi mengejarnya. Orang yang memiliki ambisi akan mencari tujuan lain. Kalau kebutuhan untuk berprestasinya tinggi, ia akan terus mencari tantangan baru. “Otaknya tidak akan berhenti berputar untuk mencari tujuan selanjutnya,” ujar Ratih. Sedangkan orang yang tidak terlalu berambisi, mungkin akan istirahat dulu sampai ia merasa membutuhkan sesuatu yang lain.


Sumber :
femina.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar