Rabu, 04 Maret 2015

CERPEN : Ma, Minta HP!

Ma, Minta HP!
Oleh : Kristina Suherman

Mama selalu melarangku untuk memiliki handphone, padahal Papa sudah membolehkanku. Papa juga tak bisa berbuat apa-apa karena Mama lebih galak dari Papa!
Di usiaku 12 tahun ini, Mama jelas melarang. Padahal semua temanku sudah memiliki handphone, bahkan Mutia, anak pembantu saja sudah memilikinya. Jadi apa kata teman-teman nanti?
“Mah, kapan Mama mau beliin Angel hp?”
“Tidak, Mama tidak akan membelikan kamu HP, tunggu kamu kerja punya uang banyak baru beli hp.”
“Yah Mama, itu kan lama, kenapa sih kuno banget, kita perlu modern sedikit Ma!,” jawabku kasar.
Aku langsung berlari menuju pintu kamar dan menutupnya dengan keras. Aku sudah tidak sabar lagi, Mama terlalu banyak aturan, padahal kebebasan itu penting. Percuma barang-barang mewah di rumah ini tapi hp yang paling penting saja tidak punya. Kali ini aku berniat untuk mogok makan, atau lebih ekstrem lagi aku bakalan mogok ketemu Mama. Biar Mama rasain sendiri akibatnya!
Ketika jam makan siang, Mama mengetuk pintu kamarku. Aku tak mau menjawabnya, aku melanjutkan tidurku dan mengunci pintu kamarku. Aku tertidur pulas dan menghindar dari suara Mama.
***
Jam menunjukkan pukul tiga sore. Aku terbangun dan tak mendengar suara Mama lagi dari balik pintu. Tapi perutku sekarang terasa lapar, bunyinya seperti ada konser dangdut di dalamnya. Aku tak bisa keluar untuk mengambil makanan, bisa jatuh martabatku di depan Mama. Aku akan menahan laparku karena ini udah komitmenku kalau aku tak membutuhkan Mama lagi sampai Mama membelikanku handphone.
 Tiba-tiba ada suara ketukan pintu.
“Non Non...”
Rupanya itu suara Bi Sumi, untuk apa dia kemari? Aku langsung memencet remote pintu. Pintu terbuka secara otomatis. Bi Sumi pun masuk dan meletakkan satu nampan yang di dalamnya terdapat aneka makanan. Termasuk ayam goreng kesukaanku.

Papa pergi satu minggu, begitu kata Bi Sumi. Pasti ini ulah Mama sehingga Bi Sumi tiba-tiba berkata begitu, Mama tahu kalau aku selalu dibela oleh Papa, kalau Papa tidak ada sampai satu minggu, berarti aksiku harus berjalan sampai Papa datang, mana kuat? Aku tak dapat menahan laparku. Aku langsung menyuruh Bi Sumi pergi agar Bi Sumi tidak tahu kalau aku memakan makanan itu.
***
Brrrmmm. Ku dengar suara mobil dari luar. Ternyata Mama pergi. Mau pergi ke mana Mama? Aku berlari ke lantai bawah dan menuju parkir mobil. Aku memanggil Pak Parno, supir pribadi khusus yang disiapkan untukku.
“Pak Parno... Pak Parnoooo...,” aku berteriak sekencang-kencangnya.
Pak Parno berlari ke arahku.
“Pak Parno, tahu Mama pergi ke mana? Cepat ikuti.  Jangan sampai Mama tahu!”
Aku langsung menaiki mobilku, dan segera mengikuti arah mobil Mama. Berbelok ke kanan, lurus, belok kanan lagi, lurus, belok. Rasanya jauh sekali, mungkin ini arah menuju Bogor. Benar saja, aku melihat spanduk bertuliskan “Selamat Datang di Kota Bogor” lengkap dengan semboyan-semboyannya. Aku semakin bertanya-tanya dalam hatiku.
Setelah melalui 2 jam perjalanan karena macet, mobil Mama berhenti di depan sebuah rumah kecil. “Yayasan Budi Asih”. Tidak jelas yayasan ini bergerak di bidang apa. Begitu Mama masuk, aku mulai mengikuti Mama. Aku tidak berani terlalu dalam masuk, aku takut ketahuan Mama. Aku kembali ke mobil menunggu Mama keluar.
Satu jam, dua jam berlalu. Akhirnya Mama keluar.
“Non, mau diikuti lagi mboke?,” tanya Pak Parno
“Ga usah Pak, sekarang tunggu di sini, saya mau masuk sebentar...,” jawabku sambil membuka pintu mobil.
Aku langsung masuk ke dalam rumah itu. Di dalamnya banyak terdapat anak kecil, ada yang disabilitas, ada yang menderita polio, dan lain-lain. Tiba-tiba seorang ibu menegurku...
“De, ada yang bisa dibantu?”
“Hmm, saya mau tanya kenal Ibu Rusmini?”
“Bu Rusmini Setiawan? Baru saja tadi keluar. Mari kita bicara di dalam saja, di sini ramai dengan suara anak-anak...,” jawab ibu itu.
Ibu yang tak kukenal namanya ini mengajakku ke dalam dan melewati banyak foto-foto. Kemudian kami berhenti di depan foto  seorang anak perempuan.
“Ini Ibu Rusmini sewaktu kecil, beliau dulu teman saya di panti asuhan milik Yayasan Budi Asih ini. Beliau diadopsi terlebih dahulu daripada saya. Sekarang Ibu Rusmini menjadi donatur tetap di sini. Setiap bulan beliau selalu datang menemui anak-anak panti.”
Ibu itu mendekati meja kerjanya dan mengambil sebuah CD lalu memberikannya padaku.
“Ini kampanye panti asuhan kami dalam mencari donatur, kalau Non berkenan silahkan diambil boleh disebar luaskan. Kebaikan Non sangat berarti buat panti asuhan ini. Oh ya tadi Non ini ada perlu apa mencari Ibu Rusmini?”
“Sudah cukup Bu informasinya. Terimakasih Bu, pasti akan saya bantu. Kalau begitu saya pamit dulu.”
***
Aku menyetel CD itu di mobil. Aku begitu terharu melihat isi CD itu. Aku melihat Mama begitu bahagia mengkampanyekan Panti Asuhan Budi Asuhan ini. Aku merasa bersalah sudah merengek-rengek meminta HP pada  Mama. Aku menyesal sudah mogok makan dan mogok ketemu Mama. Padahal anak-anak panti asuhan itu lebih membutuhkan kasih sayang daripada HP. Yang mereka cari adalah kebahagiaan sempurna bersama orang tua yang mengasihi mereka.
Sesampainya di rumah, aku mencari Mama dan memeluknya erat, “Ma, Angel sayang Mama, maafin Angel ya, ...”
“Iya sayang, coba liat ini ada hadiah buat kamu,” jawab Mama sambil tersenyum
Aku membuka bungkus hadiah itu. Setelah kubuka ternyata isinya adalah HP yang selama ini aku idam-idamkan. Aku memeluk Mama lagi.
“Sayang, Mama tahu kamu udah cukup dewasa untuk menggunakannya. Jadi jaga baik-baik kepercayaan dari Mama dan Papa..”
“Iya Ma, tapi bukan HP ini yang jadi kebutuhan utama Angel, justru Angel lebih senang memiliki Mama dan Papa. Ajak Angel juga setiap bulan ke Panti Asuhan Budi Asih...”
“Ini baru anak Mama.... Tapi kok kamu bisa tahu Budi Asih?”
“Panjang Ma ceritanya.....”
Aku bercerita panjang lebar tentang apa yang aku alami, aku ingin lebih memperhatikan Mama dari pada HP yang kumiliki. Aku mendapatkan satu hal, “Tak ada yang lebih indah dari pada kasih orang tua, dan tak ada yang lebih penting dari cinta orang tua di dunia ini.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar