Fiska, Sahabat Baruku
Oleh : Kristina Suherman
Aku selalu mengeluh kalau Pak
Dibyo yang mengajar, pelajaran matematika itu terasa sulit. Sekonsentrasi
apapun pasti aku tidak bisa mengerti pelajarannya, sedikitpun tak ada yang
melekat di otakku.
“Sa, kamu tuh harus bisa
matematika. Mama ga mau tahu, nilai kamu harus bagus. Mama mau kamu sekolah di
Jerman kayak papa dan mama dulu. Malu dong nanti Mama, mama papanya sekolah di
luar negeri anaknya engga. Di Jerman, matematika itu dibutuhkan buat proses seleksinya,
bayangin dulu Mama dan Papa bisa ngalahin ribuan peserta yang daftar dan masuk
sekolah bergengsi. Kamu harus bisa kayak Mama dan Papa dong...,” kata Mama saat
mengetahui nilai ulangan matematikaku.
“Ma, Sasa ya Sasa. Ga bisa
dong disamain sama Mama atau sama Papa. Ya aku udah coba tapi pelajaran Pak
Dibyo tetep aja tuh ga ngerti. Coba Mama masukin aku ke bimbel kayak dulu pas
aku SMP,” jawabku.
“Enak saja ya, uang buat
bimbel itu mahal. Kamu harus belajar mandiri, jangan terlalu tergantung sama bimbel.
Dulu Mama ga pernah les atau ikut bimbel sama sekali loh ya. Kamu harus belajar
mandiri, jangan terlalu tergantung sama bimbel. Waktu itu Mama masukin ke
bimbel karena bimbel itu punya temen Mama, bimbelnya baru buka dan nawarin ke
Mama, kan ga enak kalau ga diterima apalagi itu rekan bisnis Papa. Kamu juga
lagi SD ga pernah bimbel kan? Ya pasti sekarang kamu bisa dong.”
“Ya sudah terserah Mama saja,”
jawabku sambil berlalu menuju kamar.
Di kamar, aku membanting tasku dan membuka Macbook kado dari papa. Macbook itu dibeli Papa tiga bulan yang lalu. Aku membuka akun facebookku. Notifikasi lumayan banyak, maklum saja teman facebookku sudah mencapai dua ribu-an lebih. Tujuanku membuka facebook kali ini adalah untuk menjadi stalker. Hal yang paling suka aku stalking adalah akun facebook anak baru di sekolahku. Namanya Fiska Anggraeni. Anaknya manis, cantik, baik, banyak juga yang naksir. Bahkan mereka sampai berebut demi mengantarkan Fiska pulang. Sedikit iri sih sama Fiska.....
Di kamar, aku membanting tasku dan membuka Macbook kado dari papa. Macbook itu dibeli Papa tiga bulan yang lalu. Aku membuka akun facebookku. Notifikasi lumayan banyak, maklum saja teman facebookku sudah mencapai dua ribu-an lebih. Tujuanku membuka facebook kali ini adalah untuk menjadi stalker. Hal yang paling suka aku stalking adalah akun facebook anak baru di sekolahku. Namanya Fiska Anggraeni. Anaknya manis, cantik, baik, banyak juga yang naksir. Bahkan mereka sampai berebut demi mengantarkan Fiska pulang. Sedikit iri sih sama Fiska.....
“Fis, gimana sih resep kamu buat
dapetin cowo?,” kataku polos.
“Hmm,,.. ga ada sih sebenernya
itu tergantung gimana kamu membuka hati buat orang lain. Kan jodoh orang
beda-beda, ada yang udah dapet pacar waktu SMA, atau ada yang TK juga
malahan... Yang pasti jodoh itu pasti ada, tinggal gimana diri lo ajah. Jangan
terlalu tertutup, pede ajah. Gitu sih paling resepnya,” tutur Fiska sambil
tertawa kecil.
Hari ini pelajaran paling
neraka. Bad day ever! Pelajaran Pak Dibyo, pelajaran yang paling engga disukai
sama gue.
“Pagi anak-anak, God bless
you...,” seru Pak Dibyo pada anak-anak saat memasuki kelas.
Sebenarnya menurutku Pak Dibyo baik, tapi sayang dia ga cocok kayaknya jadi guru matematika. Hufft, entahlah kenapa harus dia ngajar matematika.
Sebenarnya menurutku Pak Dibyo baik, tapi sayang dia ga cocok kayaknya jadi guru matematika. Hufft, entahlah kenapa harus dia ngajar matematika.
Pak Dibyo mengambil buku
matematika milik Fino, ketua kelasku yang duduk paling depan. Lalu, Pak Dibyo
menyuruh Fino untuk maju ke depan mengerjakan soal. Dan...... Upss, Pak Dibyo
menunjukku untuk mengerjakan soal yang susahnya setengah mati. Kenapa harus
akuhhhh?
Keringat mengucur deras dari
pelipisku, ruang kelas ber-AC mendadak panas begitu Pak Dibyo menyuruhku
mengerjakannya. Aku hanya bisa memandang angka-angka yang bertebaran di papan
tulis dan memandang Fino yang begitu lancar mengerjakan soal dari Pak Dibyo.
Aku menggenggam erat spidol hitam di tanganku, rasanya....
Tiba-tiba Pak Dibyo menegurku
dari belakang, “Ayooo, cepat, menyerah?” Pak Dibyo meraih spidol yang terdapat
di tangan kananku, ia mengajakku untuk bersama-sama mengerjakan soal itu. Ya
mulai sedikit mengerti sih..... Tapi hanya sedikit.
Pak Maman, supir pribadiku
sudah menunggu di gerbang sekolah. Kulihat Fiska sendiri saja di ruang tunggu
dekat gerbang sekolah. Aku pun menyapanya.
“Hey, Fiska. Kenapa diam
saja?”
“Hmm, aku mau pulang, hanya
saja aku harus menunggu teman yang satu mikrolet denganku.”
“Ya sudah, sama aku ajah yukk,
sekalian main di rumahku....”
“Yakin ini ga ngerepotin?”
“Engga kok Fis, aku justru
seneng jadi di mobil aku ga bete..”
Persahabatan aku dan Fiska
terus berlangsung, di kelas kami sering duduk bersama, mengerjakan PR, saling
curhat, dan lain-lain. Aku merasa kalau Fiska memang orang yang paling klop
sama aku. Kita juga sering belajar bareng.
Mama akhirnya senang karena
aku bersahabat dengan Fiska, aku jadi punya banyak kegiatan positif. Nilai aku
juga jadi ga merah, karena aku sering belajar bersama Fiska termasuk belajar
melalui Youtube. Kalau sebelumnya aku lebih banyak menggunakan handphone dan
segala gadget untuk eksis di instagram, path, atau di twitter, sekarang aku
lebih banyak menghabiskan waktuku untuk ngeblog dan belajar bersama Fiska.
Meskipun aku dan Fiska
bersahabat, tapi ada hal yang sama sekali aku tidak ketahui tentang Fiska.
Begitu disinggung soal orang tuanya, Fiska sama sekali tidak menjawab. Ketika
pertemuan atau pengambilan raport, orang tua Fiska tidak pernah datang. Fiska
selalu mengalihkan pembicaraan bila aku membicarakan hal itu. Tapi aku tidak
pernah memaksanya, karena menurut mama mungkin ia memiliki masalah keluarga.
Suatu hari, ada pelajaran
olahraga. Otomatis semua tas ditinggal di ruang olahraga, dan semua murid
menuju lapangan. Waktu itu aku mencari Fiska tapi ia tidak ditemukan di
lapangan. Aku berpikir mungkin Fiska sedang mengambil sesuatu.
Tiba-tiba Fiska berlari ke
arahku, nafasnya terengah-engah.
“Hey, kamu dari mana? Kok dari
tadi ga keliatan sih di lapangan?”
“Iya aku abis dari ruang
olahraga ngambil botol minumku yang ketinggalan.”
Setelah pelajaran olahraga aku
membuka tasku dan mencari dompetku untuk membeli minum. Alangkah terkejutnya
aku, dompetku tidak ada pada tempatnya. Kartu kredit, paspor, dan uang seratus lima puluh ribu rupiah raib.
Aku langsung menjerit, dan teman-temanku menghampiriku.
Aku menceritakan hal itu pada teman-temanku,
juga kepada Pak Mamin guru olahragaku. Pak Mamin kemudian mengajakku ke pos
satpam. Aku bingung apa maksud Pak Mamin. Ternyata Pak Mamin menunjukkanku
rekaman dari hidden camera. Aku terkejut
sekaligus sedih, karena ternyata orang yang membuka tasku dan mencuri isi
dompetnya adalah Fiska.
Pak Mamin, guru BK, dan kepala
sekolah langsung memanggil Fiska. Fiska langsung dikeluarkan dari sekolah
sesuai peraturan sekolah yang berlaku. Guru BK bercerita bahwa alasan Fiska pindah
dari sekolah lamanya karena ia merasa malu memiliki ayah dan ibu koruptor, dan
Fiska mencuri untuk membuktikan kepada teman-temannya bahwa meskipun ayah
ibunya dipenjara Fiska masih dapat mentraktir teman-temannya.
Aku tidak pernah bertemu lagi
dengan Fiska sejak kejadian itu, Mama yang mendengar ceritaku langsung
berkomentar menasihatiku, “Sa, kepercayaan itu mahal harganya kan? Kalo kamu dipercaya, kamu harus pegang
kepercayaan itu. Termasuk keputusan Mama dan Papa untuk mempercayakan kamu
untuk bersekolah. Kamu harus manfaatkan itu. Contohnya udah jelas, Fiska ngecewain
kamu kan? Rasanya gimana?”
“Hmm iya Ma, rasanya kayak
ditusuk dari belakang.”
“Nah, kamu ga mau kan kayak
Fiska?”
“Iya, Ma. Jelas ga mau dong...
Sasa salah, Sasa bodoh banget sampe iri sama kecantikan Fiska yang cuma
kecantikan semu.”
“Makanya, kamu jangan
ngecewain mama dan papa. Belajar yang rajin, banggain mama dan papa. Mama ngasih tau ini juga demi kebaikan kamu.
Jangan tergantung juga sama sahabat, apapun yang terjadi antara kamu dan Fiska,
nilai kamu harus tetep bagus, belajar kamu juga harus tetep jalan. Kamu juga
harus jadi diri kamu sendiri, orang sehebat apapun pasti dia pernah ngerasain
iri sama apa yang dimiliki orang lain. Kita manusia emang ga sempurna, satu
dengan yang lain berbeda, tapi kita semua punya potensi masing-masing yang luar
biasa. Jadi buat apa harus iri sama orang lain.... ”
“Iya, Ma. Sasa ngerti kok,
ternyata Fiska jahat ya sama Sasa.....”
“Dia sebenernya baik, buktinya
nilai kamu bagus kan karena belajar sama dia? Setiap orang memang punya
masalah, ada orang yang bertahan untuk mencari solusi yang baik, tapi ada juga
orang yang ga mau bertahan dan mencari jalan keluar yang cepat, contohnya
Fiska. Apapun masalah kamu, jangan jadiin masalah memerintah kamu untuk
melakukan hal yang ga baik. Kamu maafin dia, tetep kasihi dia sebagai sahabat
kamu.”
Aku tersenyum dan memeluk
mama, “Makasih Mama. Sasa bangga banget sama Mama.”
Sumber gambar : thepracticingcatholic.com
Sumber gambar : thepracticingcatholic.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar