Selasa, 11 Maret 2014
Gunung Slamet Berstatus Waspada
Sebagaimana gunung api lainnya di Pulau Jawa, Gunung Slamet terbentuk akibat subduksi Lempeng Indo-Australia pada Lempeng Eurasia di selatan Pulau Jawa. Retakan pada lempeng membuka jalur lava ke permukaan. Catatan letusan diketahui sejak abad ke-19. Gunung ini aktif dan sering mengalami erupsi skala kecil. Aktivitas terakhir adalah pada bulan Mei 2009 dan sampai Juni masih terus mengeluarkan lava pijar. Sebelumnya ia tercatat meletus pada tahun 1999.
Sejarawan Belanda, J. Noorduyn berteori bahwa nama "Slamet" adalah relatif baru, yaitu setelah masuknya Islam ke Jawa (kata itu merupakan pinjaman dari bahasa Arab). Ia mengemukakan pendapat bahwa yang disebut sebagai Gunung Agung dalam naskah berbahasa Sunda mengenai petualangan Bujangga Manik adalah Gunung Slamet, berdasarkan pemaparan lokasi yang disebutkan.
Masyarakat Desa Karangreja, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah, menemukan gua berlumpur dari lava gunung berapi yang mengeras ratusan tahun silam. Gua itu berada di area persawahan bengkok kepala desa. Lokasi penemuan gua berjarak sekitar 3 kilometer dari Gua Lawa di Desa Siwarak, Karangreja. “Lubang gua sisi kiri masih dipenuhi lumpur. Kemungkinan ketebalan lumpur sekitar dua meter,” ujar Sarif Priyatno, warga setempat, saat hendak mengambil batu di tengah sawah, Jumat, 28 Februari 2014.
Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pariwisata Purbalingga Prayitno menyatakan batuan di gua itu sama dengan batuan di Gua Lawa. “Kemungkinan di wilayah sisi timur Gunung Slamet, termasuk di wilayah Karangreja, terdapat lava yang mengeras dan di dalamnya berlubang, membentuk gua. Hal ini seperti saat ditemukan Gua Lawa pada sekitar 1970-an,” ujar Prayitno.
Dia menjelaskan, gua itu terbentuk akibat lava yang membeku. Proses ini terkait dengan proses aliran magma yang encer dan panas membara yang keluar dari kawah gunung api. Magma yang keluar dari kawah akan mengalir di permukaan, menuruni lembah sebagai aliran lava. “Tentu saja aliran lava ini masih sangat panas membara dalam suhu sekitar 1.000 derajat Celsius,” ujarnya. Ketika keluar, lava tersebut bersinggungan dengan suhu udara normal sehingga mulai membeku.
Bagian yang membeku dan mengeras lebih dulu adalah bagian permukaan, sementara bagian dalam masih bisa mengalir ke arah lereng bagian bawah. Maka, ketika seluruh bahan lava yang masih mengalir di bagian dalam keluar di lereng bawah, akan menyisakan lubang yang dibatasi oleh lapisan lava yang mengeras lebih dahulu di permukaan. “Lubang ini yang akhirnya disebut sebagai gua. Sama halnya ketika proses terjadinya Gua Lawa,” kata Prayitno.
Menurut dia, masih membutuhkan waktu panjang untuk menjadikan gua baru itu sebagai tempat wisata seperti Gua Lawa. “Tahap awal, perlu dipetakan dahulu kondisi gua itu,” kata Prayitno. Saat ditemukan pada 1970-an, Gua Lawa juga masih tertutup lumpur. Ketika itu belum terpikirkan gua bakal dijadikan obyek wisata.
Badan Geologi meningkatkan status Gunung Slamet, Jawa Tengah, dari aktif normal menjadi waspada. Sejumlah daerah di Banyumas dan Purbalingga diguyur hujan abu meskipun tak begitu tebal. Pendakian ke puncak itu kini dilarang.
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Surono mengatakan sejak 10 Maret 2014 pukul 21.00 WIB, status aktivitas Gunung Slamet dinaikkan dari level Normal (level 1) menjadi Waspada (level 2).
Peningkatan kegempaan di Gunung Slamet berimbas pada sejumlah wilayah yang meliputi lima kabupaten di Jawa Tengah, yakni Pemalang, Banyumas, Brebes, Tegal, dan Purbalingga. "Agar masyarakat atau wisatawan tidak beraktivitas dalam radius 2 kilometer dari kawah Slamet," katanya, Senin, 10 Maret 2014 melam.
Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pariwisata Purbalingga, Prayitno, mengatakan dengan peningkatan status tersebut, pendakian ke gunung dengan tinggi 3.428 meter di atas permukaan laut tersebut dilarang. "Pendakian melalui jalur Bambangan Purbalingga untuk sementara ditutup," katanya.
Penutupan tersebut, kata dia, atas saran petugas pos pengamatan Gunung Slamet di Gambuhan Pemalang. Ia kini sudah berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk antisipasi lebih lanjut.
Prayitno mengatakan saat ini berdasarkan data di pos pendakian Gunung Slamet di Dukuh Bambangan, Desa Kutabawa, tercatat ada 21 pendaki yang sudah berangkat pada Senin, 10 Maret 2014 pagi. Mereka dari Jakarta sepuluh orang, Jakarta Barat sembilan orang dan dua orang dari Tegal.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebutkan peningkatan aktivitas Gunung Slamet ditandai dengan meningkatnya jumlah gempa embusan serta tebal asap embusan yang semakin tinggi. Pemantauan visual gunung api itu pada 1-7 Maret 2014 mendapati asap putih tipis-tebal setinggi 25-600 meter dari puncak, lalu pada 8-10 Maret 2014 pengamatan visual mendapati ketinggian asap 25-1.000 meter dari puncak.
Rekaman aktivitas kegempaan gunung api itu juga mengalami peningkatan. Pada rentang 1-7 Maret 2014 terekam 1.209 kali gempa embusan, empat kali gempa vulkanis dangkal, serta satu kali gempa vulkanis dalam. Lalu, pada 8-10 Maret 2014 hingga pukul 1 siang, terekam 441 kali gempa embusan serta sembilan kali gempa vulkanis dangkal.
Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Surono, mengatakan pemicu naiknya aktivitas Gunung Slamet yang asalnya berstatus normal itu diakibatkan adanya peningkatan aktivitas kegempaan gunung api tersebut. "Rekomendasi agar masyarakat/wisatawan tidak beraktivitas dalam radius 2 kilometer dari kawah Gunung Slamet," katanya, Senin, 10 Maret 2014.
Sumber :
tempo.co
http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Slamet
LS5-10
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar